
Pernah mendengar istilah Revolusi hijau? sebuah istilah yang terdengar seperti gerakan perubahan untuk menghijaukan lingkungan dan melestarikan alam. Namun istilah Revolusi Hijau yang dikenal sejak beberapa puluh tahun itu faktanya bukanlah sebuah gerakan untuk kembali kepada alam.
Revolusi hijau adalah reformasi sistem pertanian secara global yang terjadi sejak 1950-an hingga 1960-an. Tak lain bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pangan dengan mengkonversi pertanian tradisional menjadi pertanian modern.
Dunia saat itu baru saja terlepas dari masa dua perang besar yakni perang dunia pertama dan perang dunia kedua. Perang besar bertahun-tahun itu membuat lahan-lahan pertanian di dunia menjadi rusak, sehingga produksi pangan dunia menjadi lambat dan tidak produktif. Hal ini tentunya membuat ancaman kelaparan di berbagai belahan dunia.
Sebab itulah gerakan revolusi hijau terlahir sebagai semangat untuk mengatasi kelaparan. Revolusi hijau memang telah diakui mampu meningkatkan produksi pangan dan mengatasi krisis kelaparan di berbagai negara di dunia, tetapi revolusi hijau ternyata memiliki dampak berkesinambungan dan ancaman terhadap kepunahan keanekaragaman hayati, degradasi ekosistem, dan perubahan iklim.
Revolusi hijau dipelopori oleh seorang pakar agronomi dan biologiwan berkebangsaan Amerika Norman Ernest Borlaug. Saat itu Norman berhasil menciptakan varietas baru benih gandum pada 1940-an. Norman membudidayakannya di Meksiko. Norman Borlaug juga mulai mengenalkan penggunaan pupuk kimia dan sistem pengairan modern.
Reformasi budidaya gandum ala Norman telah membawa Meksiko yang awalnya negara pengimpor gandum menjadi mampu meningkatkan dua kali lipat produksi gandumnya. dalam kurun waktu dua dekade, Meksiko mampu menjadi swasembada dan pengekspor gandum. Keberhasilan meningkatkan pangan di Meksiko membawa Revolusi hijau mulai diterapkan di beberapa negara lain seperti India, Pakistan, Turki, bahkan di Indonesia.
Revolusi hijau di Indonesia sendiri mulai digalakkan pada masa orde baru dengan istilah program Bimbingan Massal dan Panca Usaha Tani. Melalui program tersebut pemerintah mendorong petani untuk menggunakan bibit unggul dan Pemupukan, petani dikenalkan pemberantasan hama dan penyakit, sistem pengairan dan Perbaikan cocok tanam.
Penerapan revolusi hijau di Indonesia terus menyebar, semula program Bimas kemudian berkembang menjadi program Intensifikasi Massal. Dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi bibit unggul, pupuk, pestisida, dan teknologi pertanian. Memang tak dapat dipungkiri penerapan revolusi hijau secara massal nyatanya mampu membawa Indonesia menjadi swasembada beras saat itu.
Dampak Revolusi Hijau
Sejak pertama kali dikemukakan oleh Norman Borlaug, memang revolusi hijau bertujuan untuk mengatasi kelaparan dengan cara meningkatkan produksi pangan melalui perubahan sistem pertanian tradisional menjadi modern.
Tetapi walaupun revolusi hijau mampu mengatasi kelaparan di beberapa belahan dunia pada saat itu. Namun pada kenyataannya krisis pangan masih tetap menjadi momok dan ancaman bagi beberapa negara-negara berkembang. Terjadi degradasi ekosistem yang mengakibatkan produksi pangan justru semakin menurun.
Penggunaan bibit unggul pada revolusi hijau adalah benih hasil rekayasa yang didapat dari pengembangbiakan selektif untuk meningkatkan kualitas sifat genetik tertentu, dan ini berbeda dengan bibit atau benih yang biasa digunakan oleh petani tradisional. Kendati bibit unggul ini dipercaya mampu menghasilkan tanaman berkualitas, sayangnya bibit unggul ini tidak bisa dibiakan secara mandiri oleh petani untuk tanam musim berikutnya.
Untuk itu petani harus kembali membeli bibit unggul yang bersertifikat untuk penanaman berikutnya. Hal ini membuat petani harus meningkatkan modal produksinya. Penggunaan bibit unggul ternyata juga dapat menyebabkan kepunahan keanekaragaman hayati, karena petani dikondisikan untuk menanam satu jenis tanaman sehingga meniadakan atau menyisihkan tanaman lokal yang beragam.
Penggunaan bibit unggul juga membutuhkan pupuk dan pestisida sintetis serta air yang lebih agar bisa tumbuh maksimal. Selaras dengan penggunaan pupuk dan pestisida yang semakin masih di dunia pertanian, tentunya meninggalkan Sisa residu dari pupuk dan pestisida sintetis yang dapat mencemari tanah sehingga unsur hara di dalam tanah pun menurun.
Dalam kondisi yang terus-menerus mengakibatkan tanah menjadi tidak subur dan petani menjadi ketergantungan untuk menggunakan pupuk sintetis. Penggunaan pestisida sintetis secara massal dan masif juga menyebabkan populasi hama bermutasi dan menjadi semakin ganas.
Revolusi hijau membuat modal produksi menjadi lebih mahal karena petani harus membayar lebih untuk pengolahan tanah, bibit unggul, pupuk dan pestisida sintetis. Tentunya ini berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat petani. Revolusi hijau yang digadang-gadang mampu membawa kesejahteraan masyarakat petani kelas menengah dan bawah nyatanya membuat petani terjebak dalam kondisi hutang untuk pemenuhan modal tanam.